Lagi iseng baca majalah Paras No. 114/TahunX/April 2013, ada artikel yang menarik perhatian, Rubrik Risalah Doa Hal. 102 - 103. Aku ketikin lagi dan diposting di sini, semoga bermanfaat.....
"Und setzt ihr nich das Leben ein, nie wird euch das Leben gewomennen sein."
(Dan Hidup yang tidak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan)
Kutipan yang disukai Sutan Sjahrir dari syair Friedrich Schiller (1723-1796) dalam H. Rosihan Anwar : Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Jakarta : Penerbit Buku KOmpas, Februari 2012, hlm 7
"Jika bukan karena perintah menegakkan kalimat tauhid, sudah tentu kita akan tinggal di sini, memperbudak para penghuninya, dan menikmati segunung makanan yang ada di hadapan kita," ucap panglima Islam Khalid bin Walid begitu ia dan bala tentaranya membebaskan Syam yang subur dan beriklim sejuk, dari prajurit Romawi. Bayangkan, sebuah kemenangan sempurna, namun karena sudah dibalut oleh energi transendensi, tiada lagi winnee takes all, sementara the looser loses all.
Tidak bisa dibayangkan, tentara dari gurun kering kerontang nan sahaja, tidak terdidik oleh filosofi tinggi skolastik, namun mampu berpengarai santun nan luhur dalam peperangan. Tidak sebelum dan sesudah era Islam, perang menjadi bukan semata penaklukan, peluluhlantakan, perampasan harta bendanya, pemerbudakan para prianya dan pemerkosaan para perempuannya, melainkan ajakan menuju penuhanan yang esa, dan pengakuan Muhammad Saw sebagai utusan purna-Nya. Bagi yang tak bersedia, ada jalan elegan, yakni mereka dianggap kafir zimmi, yang diakui keyakinannya, dan diberi kebebasan, asal mereka membayar jizyah, atau pajak perlindungan.
Berbekal tuntutan Al-Quran suci dan petuah Nabi, kaum muslimin pun mengembangkan peradaban, mempercantik dunia dengan hasil olah budi-teknologi, sehingga terciptalah kota-kota nan indah, yang didalamnya berisi bangunan berarsitektur elegan, pabrik pengolahan bahan sandang dan bahan pangan, penghimpunan masyarakat aneka etnis dan keyakinan dengan soliditas yang kuat, pengembangan lembaga pendidikan dan pengetahuan bersemagnat pencerahan dan keimanan. Namun seindah-indahnya bangunan arsitektural, tetap kerendah-hatian dipahatkan dalam kaligrafi berbunyi "La ghalib illa Allah" tiada kejayaan selain Allah Swt, sebuah pengakuan betapa kecilnya manusia si pencipta peradaban itu di hadapan Yang Mahatinggi.
Demikianlah, kita kaum muslimin diajarkan untuk menjayakan dunia, demi meraih kesuksesan. Hanya saja, kita tidak boleh memutlakan dunia, yang durasinya tak lebih ibarat beristirahat di sebuah pohon, dalam rangka menuju tempat yang masih teramat jauh, yakni negeri akhirat. Oleh karena itu, tidak seperti pandangan hidup (isme) dunia berkembang, Islam tidak membolehkan hedonisme yakni paham mencari kenikmatan dunia tiada batas, atau sebaliknya penganut absurditas, bahwa hidup ini tak lebih dari kesia-siaan tanpa makna yang hanya menunggu mati. Dengan kata lain, imperatif hidup sebagai kaum muslimin adalah menggapai kesuksesan hidup di dunia dan akhirat sekaligus.
Meretas Kesuksesan
Sukse diartikan sebagai suatu keberhasilan yang dicapai. Apa saja resep kesuksesan? Berkat kerja keras, kerja cerdas, kerja efektif, tekad yang bulat untuk menggapai asa, dan sebagainya. Mengapa orang yang mendambakan kesuksesan dalam hidupnya? karena tak ada orang yang ingin hidupnya gagal bukan? Orang yang sukses diandaikan mendapat kenyamanan dalam hidupnya, atau kehormatan dalam peran diri atau kemasyarakatan.
Mari kita melihat uswah pada diri Baginda Muhammad Saw. Memang, karena faktor keterpilihannya sebagai calon manusia besar, kita melihat adanya aneka keajaiban yang mengiringi Rasulullah. Namun demikian, secara kasat mata, sebagai manusia, Rasul juga harus mengalami pahit-getirnya perjuangan menggapai kesuksesannya itu.
Beliau pernah mengalami keterputusan wahyu,, sehingga, tiada lagi yang bisa beliau kabarkan mengenai berita langit yang ditunggu-tunggu para pengikutnya. Sebaliknya para musuhnya bersuka cita, dengan menyatakan, Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya. Pada saat kritis, gelisah, bertanya-tanya, apakah Allah Swt marah kepada diri Muhammad Saw, turunlah surat Ad-Dhuha, khususnya sapaan pada ayat 3. "Tuhanmu tidaklah meninggalkanmu dan tiada (pula) Dia sangat membenci."
Tidakkah diri kita juga pernah, atau malah sering, berlaku seperti itu, berharap kabar apa yang diharapkannya, namun lama tiada berita, dan tiba-tiba apa yang diharapkan pun menyua hingga sanubari yang gelisah itu mendadak ruah oleh kegembiraan? Sayang, rasa tergesa, tidak sabar, tak jarang menerpa orang-orang yang dilanda gelisah, sehingga, mereka memutuskan sesuatu secara serampangan, tak tertakar optimal. Akibatnya, selain dirugikan oleh keputusan yang mereka buat, bukan tak mungkin keyakinan bahwa Tuhan akan menolong sedemikian luntur. Gerak menjauh (sentrifugal) itu pun akan diikuti oleh rasa kurang syukur.
Ada lagi uswah Rasulullah. Ketika Mekkah terasa sempit oleh penentangan demi penentangan atas risalahnya, Rasul pergi ke Thaif. Kota sejuk yang menjadi tempat peristirahatan orang Quraisy ini diharapkan menerimanya dengan kesejukan pula. Ternyata, perlakuan yang diterima beliau tak beda jauh, bahkan beliau dilempari batu, hingga berdarah-darah. Langkah lainnya adalah meyakinkan para kabilah dalam prosesi tahunan (haji pra-Islam). Itu pun tidak ditanggapi secara layak oleh kabilah.
Sebenarnya tidak menolak semua. Ada pula yang mau menerimanya, namun tidak utuh. Misalnya, menerima Islam, namun tak mau menolong bila Rasul mengalami kesulitan dalam peperangan. Ada pula yang menerima, namun tetap netral bila meraka berhadapan dengan negeri yang secara tradisional bersekutu atau mengikat janji dengan kabilah tersebut, padahal negeri itu memusuhi Rasulullah. Bagaimana Rasulullah bisa mendapatkan pembelaan dan janji kesetiaan apabila yang dijanjikan hanya setengah-setengah? Bagaimana Islam bisa tegak bila dibayangi oleh pengkhianatan atau pembiaran?
Ketika semua jalan hampir tertutup, dibayangi oleh tugas yang berat membentang, Rasul pun mengembalikan kepasrahan lewat doa yang termaktub dalam QS. Al-Isra' [17] : 80 :
"Rabbii, adkhilnii mudkholash shidqi, wa akhrijnii muhrajash shidqi, waj'allii milladunka sulthaanan nashiiraa" (Rabbi, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku ke tempat keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong)."
Subhanallah, ALlah membuka jalan itu. Kabilah Aus dan Khazraj, dua suku yang saling berseteru di Yatsrib (kelak Madinah), sepakat mengakhiri pertikaian selama ratusan tahunnya, juga secara cerdas menangkap visi Nabi yang akan memuliakan martabat mereka. Jadilah Nabi dijadikan pemimpin mereka, nabi juga mendapatkan teritorial pertahanan sekaligus pembelaan total apabila Islam yang dibawakannya diganggu oleh para musuh. Sejarah mencatat, dari Madinah inilah, Islam disemaikan secara luas, hingga ke segenap penjuru dunia. Sebuah kesuksesan yang belum pernah terjadi, cetus Michael Hart, bahwa bangsa gurun yng disepelekan ini menguasai dunia.
Alhasil, kesuksesan adalah buah dari kerja keras, ketabahan, kekuatan jiwa, disiplin penuh dedikatif. Keberuntungan? Mungkin, ini tak mungkin terjadi terjadi berulang kali, bisa jadi momentum yang tepat, namun selebihnya adalah optimalisasi dari daya-daya diri. Galibnya, tiada kesuksesan tanpa kerja, tanpa keringat, tanpa air mata, karena di situlah kunci-kunci menuju keberhasilan. Pada Islam-lah, ujar Ismail Faruqi, kemenangan dalam hidup harus menyata di dunia ini, namun semua itu tak boleh menghilangkan nilai-nilai transendensi-llahi.
Doa Meraih Sukses
Allahumma innii as aluka sihhatal iman
Wa iimaana khuluqil hasani
Wa najahan yatbu'uhu falahun
Wa rohmatan minka
Wa'aafiyatan wa maghfirotan minka wa ridzwaana
"Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu: Iman yang sehat;iman dalam akhlah yang baik / mulia; sukses yang diikuti keberuntungan; rahmat kasih sayang dari-Mu, dan kesehatan, ampunan serta rida dari-Mu."
HR Ahmad No. 7923, dikutip dari mimtulungagung.wordpress.com
.
.
.
Semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah senantiasa meridhai apa pun yang kita lakukan dalam kebaikan, amin.