Tertarik sama judulnya, baca sebentar, terus diketik dehhh. Ini aku ketik ulang dari Majalah Kartini No. 2357 Periode 19 September - 3 Oktober 2013. Semoga bermanfaat......
Dewasa ini, rasanya hampir mustahil orang tidak punya handphone maupun komputer untuk mendukung performa sehari-hari. Mulai dari kelompok usia anak sampai dewasa, dari bangun tidur sampai tidur lagi, di acara non-formal dan acara formal, baik sedang sendiri maupun dalam kelompok, gadget hadir. Padahal menurut penelitian terbaru, ketergantungan pada gadget itu dapat menurunkan fungsi otak alias demensia.
Pesatnya kemajuan teknologi di era modern ini patutlah diacungi jempol. COba saja simak promosi di berbagai media yang menawarkan gadget dengan fitur tercanggih. Semua berlomba menawarkan telepon genggam dan laptop dengan koneksi internet dilengkapi fitur-fitur berkualitas.
Saking lengkapnya, tampaknya gadget itu tidak boleh ada di luar jangkauan kita. Sungguh mengejutkan studi yang didanai oleh Facebook menunjukkan bahwa sebanyak 62 % orang mengaku ponsel adalah hal pertama yang mereka cari ketika bangun tidur. 89% diantaranya akan langsung mengutak-atik ponsel selama 15 menit pertama bangun tidur.
Sementara penelitian serupa yang berfokus pada generasi muda pernah dilakukan oleh Universitas Maryland dan melibatkan 1.000 pelajar di seluruh penjuru dunia. Para peserta diminta untuk tidak mengakses media selama 24 jam. Hasilnya? 50% tidak bisa melalui 24 jam itu karena menderita gejala tersisihkan.
Maka tak salah jika penelitian SecurEnvoy di Inggris melontarkan istilah Nomophobia (no mobile phone phobia), yakni merasa cemas dan takut kalau tidak bisa menggunakan ponsel, entah karena kehabisan baterai, kehabisan pulsa, atau tidak ada sinyal.
"Penggunaan gadget zaman ini hampir sama sepreti dulu mobil baru diciptakan, semua rasanya jadi lebih mudah, maka terjadi penggunaan yang agak berlebihan," buka Adityawarman Meladi, MPSi, seorang psikologis klinis.
Ketergantungan pada Gadget
Statemen Adityawarman tidaklah mengada-ada. Menjadi fenomena sosial saat ini di mana orang tak bisa lepas dari gadget. Penelitian-penelitian di atas membuktikan, realitas sosial pun memperlihatkan hal demikian. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak usia SD bahkan masih TK pun memegang HP, apalagi remaja. Usia inilah yang konon paling banyak mengikuti tren teranyar dan terlengkap fitur-fiturnya. Ini kata Nadya, seorang remaja SMP kelas tiga.
"Waktu habis liburan kemarin begitu masuk banyak teman-temanku yang punya HP terbaru. Yang tipenya S4 lah, padahal itu harganya 7 jutaan lebih," ceritanya menggebu-gebu. "Sebenarnya aku juga pengin ganti HP, tapi ayah nggak ngizinin sih. Soalnya tabunganku nggak cukup kalau beli sendiri," lanjutnya setengah merengut.
Wina, teman sekelas Nadia mengakui ia membeli tipe terbaru yang disebut Nadia. "Tapi kubeli dari tabunganku sendiri. Makanya Mama Papa nggak melarang. Tapi Mama marah sih begitu tahu aku beli HP baru. Katanya saat ini yang penting belajar, dan HP itu yang penting fungsinya aja, nggak perlu canggih-canggih. Tapi itu kan kacamata orang tua kudet hehe...." katanya berseloroh. Kudet artinya kurang update, bahasa gaul remaja sekarang.
Persoalannya bukan alat atau gadget-nya. Tetapi bila penggunaannya berlebihan seperti disinyalir psikolog klinis Adityawarman. Betapa anak-anak sekarang benar-benar tak bisa lepas dari gadget. Kalau dulu ada penelitian anak-anak menghabiskan waktu menonton TV, 3 sampai 4 jam sehari. Kini waktunya sudah beralih ke gadget, bahkan bisa lebih lama dibanding menonton TV.
Ini diakui Melani, ibu dua orang anak remaja. "Anak-anakkku contohnya. Jam setengah sembilan malam sudah selesai belajar. Terus langsung ambil HP-nya dan sibuk ketak-ketik HP. Kalau nggak HP, ya di depan internet. Dan itu bisa sampai tengah malam kalau saya nggak awasi dan tegur terus-menerus,"kata Melani yang mengakui setiap 15 menit setelah pukul 10 mengingatkan putrinya untuk tidur.
"Kalau sudah pukul sebelas lebih seperempat masih juda main HP atau internet, terpaksa saya ambil gadget-nya biar pun mereka ngomel-ngomel."
Melani bilang, itu harus dilakukannya karena gadget juga menyimpan dampak negatif bila disalahgunakan pemakaiannya. "Positifnya ada, tapi negatifnya juga lebih besar kalau disalahgunakan. Jadi malas belajar, konsentrasi menurun, bahkan sampai penculikan anak lho."
Benar yang disebut Melani dan mungkin juga para orang tua lainnya. Bahkan sebuah penelitian baru menyebutkan bahwa ketergantungan gadget mengakibatkan penurunan fungsi otak alias dementia. Nah, mau anak kita masih muda tapi jadi pelupa dan bodoh?
Fenomena Malas Berpikir
Penelitian tentang gadget di Indonesia memang belum digelar dalam skala besar, namun berdasarkan pengamatan sosial nyata juga tidak bisa dipungkiri, kompletnya berbagai fitur dalam satu gadget bisa membuat penggunanya, yang kebanyakan generasi muda jadi berpikir praktis saja.
Ambil contoh ponsel. Mau lihat kalender, ada di ponsel. Fungsi MP3 player ada pula di ponsel. Tidak perlu beli kamera karena ponsel pun punya. Bahkan tidak perlu buku dan alat tulis karena bisa mencatat di ponsel.
Akibatnya bisa ditebak, orang jadi malas berusaha dan malas berpikir. JIka ditanya kontak saudara, sangat jarang ada orang yang ingat, kebanyakan malah berkata, "Coba sebentar, saya lihat dulu di kontak ponsel saya."
Tidak salah memang, karena fungsi utama gadget kan memang membantu manusia menyelesaikan pekerjaan. Tapi jadi muncul pola heuristic model, yaitu pola pikir yang efisien, apa-apa mau serba mudah," terang Iman, panggilan akrab dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Munculnya teknologi mesin pencari seperti Google pun ikut-ikutan membuat orang tidak mau repot-repot membaca buku apalagi bertanya pada sekitar, tinggal googling saja. Pola serba mudah ini juga diaplikasikan untuk menilai orang lain. Contohnya Facebook. "Mudah saja kalaukita mau lihat informasi tentang orang lain melalui apa yang dia tulis di akun media sosialnya. Kalau kita suka dengan posting-annya, kita like, kalau tidak suka ya kita dislike."
"Jadinya orang gampang menilai negatif, padahal belum tentu kita paham benar tentang orang itu. Hanya parsial saja, dilihat berdasarkan apa yang ditulis, kebiasaan itu 'kan tidak baik." Lanjut Iman.
Gadget Cenderung Sebabkan Dementia
Bukan tidak mungkin, jika kebiasaan malas berpikir ini dipelihara maka daya kritis otak manusia jadi menumpul. Semakin seseoran fokus pada satu hal seperti ponsel maupun game sangat mungkin mengurangi fokus pada hal lain.
Para pecandu gadget sering kali hanya mengembangkan bagian otak kirinya sementara otak kanan tidak berkembang. Padahal otak kanan berhubungan dengan daya ingat dan perhatian. 15 % kasus otak yang gagal berkembang diyakini sebagai slaah satu faktor penyebab terjadiny demensia usia dini.
"Ini bisa terjadi karena beberapa faktor, sebut saja tidak tepat memilih gadget, tidak tepat program yang ada dalam gadget, tidak tepat situasi saat menggunakan gadget, atau pun tidak tepat proporsi penggunaan gadget, terangnya.
Demensia sendiri umumnya dialami oleh orang tua usia lanjut, sekitar 70 - 80 tahun. Ini adalah istilah untuk gejala penurunan fungsi intelektual yang 1memengaruhi aktivitas sosial. Tapi tentu hal ini tidak secara umumm menimpa semua orang tua.
"Contoh nenek saya,"kata Iman memberi contoh. "Usianya sudah 100 tahun. Walaupun fisiknya memang sudah lemah tapi masih lancar bicara dan fungsi kognitifnya masih baik. Bahkan, banyak yang kadang bertanya nomor telepon dan tanggal lahir saudara jauh, dan beliau masih ingat, karena setiap hari dia menelepon semua saudara satu per satu."
Jika dibandingkan dengan generasi muda saat ini, tentu agak mencemaskan. ANak usia dua sampai lima tahun saja sudah dikenalkan dengan peralatan elektronik. Cut Nurul Kemala, MPsi, Psikolog Klinis anak mengatakan, "Ketika anak butuh stimulasi fisik yang cukup beragam seperti melompat dan mengejar bola, dia justru anteng dengan permainan di tablet atau smartphone. Orang tuanya, yang tentu saja memperbesar kemungkinan terjadinya perlambatan perkembangan fisik."
Pendapat Nurul didukung oleh pengalaman nyata Amelia yang menceritakan repotnya jika anak sudah candu gadget. "Waktu usianya 7 bulan, Tony hanya bisa disuruh duduk diam kalau diberi tontonan dari Youtube, pas 9 bulan suah bisa buka lock iPad sendiri. Eh, sekarang usianya lima tahun sudah minta handphone sendiri, lengkap dengan akses internet. Aduh, kayaknya terlalu cepat ya!" tulis Amel pada jejaring sosial sekaligus menceritakan kecemasannya.
Waspada Generasi 'Merunduk'
Kisah seperti Amelia bukan hanya satu atau dua. Belakangan ini para ahli mengkhawatirkan munculnya generasi baru yang tidak bisa lepas dari gadget. "Generasi berzikir, kalau saya bilang," kata Iman tertawa. "Karena selalu sibuk dnegan jari-jarinya, sampai lupa kalau ada orang lain di sampingnya."
Istilah lain yang serupa adalah generasi bisu atau generasi merunduk. Ciri generasi ini sering tidak kenal dengan lingkungan sekitar tapi malahan kenal dengan orang yang lokasinya nu jauh di sana, tentunya berkenalan dan berinteraksi di dunia maya.
Tapi, akibat seringnya berinteraksi lewat dunia maya, mereka gagap ketika harus bicara secara langsung dan sulit bertanggang - rasa karena terbiasa gaya blak-blakan sperti ketika sedang mengetik.
Kurangnya rasa tenggang rasa akhirnya membuat kualitas hubungan sosial menuruan dan peran serta kualitas sosial berkurang. Contoh simpel, ketika di bus kota, berapa banyak anak muda yang mau berdiri dan memberikan temapt duduk pada orang tua yang berdiri di depannya? Tidak banyak bukan? Kebanyakan tidak melihat -- pura-pura tidak melihat -- sibuk dengan alat elektriniknya masing-masing, pun ketika diminta petugas untuk berdiri, tidak bisa mendengar karena memasang headset dengan volume keras.
"Bagaimanapun, kita adalah makhluk sosial yang selalu perlu me-maintain hubungan baik dengan sesama, lho. Padahal saat kita fokus pada di dunia maya, kita kehilangan sesuatu di dunia nyata."
Walaupun di Indonesia gejala ini diakui Adityawarman belum terlalu tampak, bukankah lebih baik mencegah daripada menanggulangi?
Cobalah Untuk Diet GadgetI
Tentu tidak ada yang salah dengan penggunaan gadget karena tujuan utamanya yang membantu manusia. Bagaimanapun gadget bagai pedang bermata dua. Harus diakui, selain memiliki sisi negatif, juga punya sisi positifnya, seperti percepatan proses belajar.
"Kita juga bisa berkreasi tanpa batas dan mengakses informasi dengan cepat. Ingin belajar marketing? tinggal browse. Belajar strategi bisnis? Tinggal klik. Sangat mudah," bahas Iman. Ia sendiri berpendapat, di era modern ini tidak bisa hidup tanpa gadget karena akan terbalap oleh kemajuan lain.
"Semua tergantung niat dan kemampuan untuk menunda penggunaan alat elektronik. Kalau sekarang, kita mau makan tiba-tiba ada yang kirim info, atau ada telepon lalu tidak jadi makan. Seharusnya bisa ditunda, makan saja dulu, baru dilihat. Kebanyakan malah makannya yang ditunda atau makan tapi gelisah."
Sebagai langkah awal, secara umum Iman menyarankan untuk tidak menggunakan gadget ketika bersama keluarga atau pun orang lain, agar hubungan sosial nyata bisa terbentuk. "Kecuali kalau untuk membunuh waktu saat menunggu, itu boleh saja."
Saran lain yang lebih praktis adalah tidak membawa alat elektronik sampai ke tempat tidur. Selain karena radiasi yang dapat menyebabkan kanker, tidur juga jadi tidak pulas karena rasa cemas akan tertinggal informasi terkini.
Sementara kasus anak, Nurul berpendapat tidak masalah memperkanalkan gadget pada anak berusia dua tahun yang sudah mulai berinteraksi. "Tapi hanya selama orang tua paham betul pembelajaran apa yang mau diajarkan ke anak. Jangan lupa juga untuk berinteraksi secara langsung dengan anak. Orang tua adalah guru pertama anak, dan dari merekalah anak belajar semua sistem dan moral.
Mari Maksimalkan Kemampuan Otak Kita
Beratnya memang hanya sekitar 1,5 kg dan terdiri dari 100 juta sel saraf atau neutron, namun otak sebagai pusat sistem saraf tubuh manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk berkembang. Sayangnya, belakangan banyak penelitian yang menyatakan manusia hanya memakai 12 % dari keseluruhan fungsi otak, dan sisanya 'tidur' di alam bawah sadar. Tapi jangan khawatir, ada banyak cara agar fungsi otak dapat terus meningkat.
Berpikir, Membaca & Bersosialisasi
Kemampuan otak akan berkembang bila kita membiasakan diri untuk berpikir kritis dan terus bertanya baik pada diri sendiri atau lingkungan sekitar. Setidaknya menanyakan 'kenapa' 10 kali dalam sehari bisa membuat otak terlatih dan kesempatan serta solusi kreatif baru akan muncul.
Membaca. Ya, dengan membaca, area otak yang terkait dengan pengalaman dalam kehidupan nyata bisa tetap aktif dan menciptakan jalur saraf baru. Membaca enam menit dapat memangkas dua pertiga tingkat stress daripada mendengar musik dan berjalan kaki. Jangan lupa untuk menulis kembali apa yang sudah dibaca, agar ingatan tetap terjaga.
Memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar juga terbukti bermanfaat untuk kesehatan otak. Studi dari Harvard of Public Health, Amerika Serikat menunjukkan orang dengan kehidupan sosial yang aktif mengalami lebih sedikit penurunan memori dibanding mereka yang pasif.
Yang Menurunkan Fungsi Otak
Selain itu, harus diperhatikan pula hal-hal yang bisa membuat kemampuan dan fungsi otak menurun. Secara fisik, kurangnya jam tidur bisa membuat sel-sel otak lebih cepat mengalami kerusakan akibat terlalu lelah.
Terlalu tergantung pada internet juga bisa jadi penyebabnya. Pada 2011, Columbia University melansir ketika sesorang konstan menggunakan Google untuk mencari tahu segala sesuatu maka ia makin jadi makin pelupa karena tidak lagi mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu.
Orang yang pendiam atau jarang bicara dan bertukar pikiran secara verbal juga berpotensi membuat otak menjadi tumpul dan sel-sel otak tidak mendapat jalan untuk berkembang.
Selain pendapat tersebut, tentu saja optimalnya fungsi otak kita tergantung pula pada gaya hidup yang sehat dan seimbang. Perhatikan asupan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Biasakan makan buah, tak ketinggalan makanan yang mengandung omega3 dan zat besi.
.
.
.
.
Setelah iseng mengetik sepanjang ini yang aku tangkap adalah.... sering-sering lah ngumpul dan ngobrol di dunia nyata. Handphone simpan di tas ajah :P